Ilustrasi Kejadian 1 ayat 28. foto PixabayTuhan Yesus menyatakan tujuan penciptaan manusia dengan jelas dalam Kejadian 1 ayat 28. Dalam ayat Alkitab itu, disebutkan pula bahwa penciptaan tersebut berkaitan dengan pengelolaan alam informasi, Kejadian 1 merupakan pasal pertama dalam Perjanjian Lama Alkitab. Pasal tersebut memuat kisah penciptaan dunia dalam enam hari. Struktur Kejadian 1 terbagi menjadi tujuh bagian, yang terdiri dari perikop “Pada Mulanya”, hingga “Hari Pertama” sampai “Hari Keenam”.Kembali membahas Kejadian 1 ayat 28, ayat Alkitab ini berkaitan erat dengan ayat-ayat lainnya yang tercatat dalam Injil Kejadian 1, khususnya ayat 26-30 yang berada dalam perikop “Allah Menciptakan Langit dan Bumi Serta Isinya”.Lalu, apa makna dari Kejadian 1 ayat 28 dalam Alkitab? Simak ulasan berikut untuk mengetahui Kejadian 1 ayat 28. foto PixabayBunyi Kejadian 1 Ayat 28Kejadian 1 ayat 28 memiliki keterkaitan erat dengan ayat-ayat lainnya. Sebelum membahas makna Kejadian 1 ayat 28, baca terlebih dahulu ayat Alkitab berikut26 Berfirmanlah Allah "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.28 Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."29 Berfirmanlah Allah "Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu.30 Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya." Dan jadilah demikian.31 Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari Kejadian 1 ayat 28. foto PixabayMakna Kejadian 1 Ayat 28 dalam AlkitabMengutip buku Posisi dan Peran Manusia dalam Alam karya Barnabas Ohoiwutun, Kejadian 1 ayat 28 menyebutkan Tuhan Yesus menciptakan manusia untuk menjalankan tugas tertentu, yaitu menaklukkan bumi dan memenuhi bumi dengan bumi di sini merujuk pada pengelolaan alam semesta, baik ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, segala binatang merayap, serta berbagai jenis tumbuhan yang hidup di bumi, khususnya Taman samping itu, manusia diciptakan berdasarkan gambar dan rupa Allah. Artinya, setiap manusia diciptakan untuk memancarkan sifat-sifat Tuhan dan kemuliaan-Nya. Adapun manusia pertama yang diciptakan Tuhan Yesus adalah Adam dan Tuhan menciptakan Adam dari debu dan tanah. Kemudian, Tuhan melihat Adam memerlukan seorang pendamping yang sepadan. Sehingga, Tuhan menciptakan seorang perempuan bernama Hawa dari tulang rusuk yang Dibahas dalam Kejadian 1 Ayat 28?Apa Tugas Manusia dalam Kejadian 1?Siapa Nama Manusia Pertama?maknakejadian 1 28 30 makna kejadian 1 28 30 Arti Casa wandplank 29x45 3x10cm Inrichting en merupakan makna kejadian 1 28 30 dari : Kejadian 28 Alkitab Terjemahan Baru makna kejadian 1 28 30, 28 14 Keturunanmu akan menjadi seperti debu tanah banyaknya dan engkau akan mengembang ke sebelah timur barat utara dan
Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka ”Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
Informasimenarik dari Update 14+ Penjelasan Kejadian 1 28, Terupdate! adalah makna kejadian 1 28 30, khotbah kejadian 1:28-31, makna perintah allah kepada manusia pada ayat kejadian 1:28-30, renungan kejadian 1 28 30, jelaskan apa makna perintah allah kepada manusia pada ayat kejadian 1 ayat 28 sampai 30, tafsiran kitab kejadian 1 28 29, kejadian 1 ayat 28-29, kejadian 1 1-28,
Berfirmanlah Allah ”Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka ”Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
Kejadian1 (disingkat Kej 1) adalah pasal pertama Kitab Kejadian dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama di Alkitab Kristen. Termasuk dalam kumpulan kitab Taurat yang disusun oleh Musa. [1] Pasal ini berisi kisah penciptaan dunia dalam 6 hari, bagian dari rangkaian catatan yang berakhir pada pasal 2 ayat 4a. Suatu hari ada seorang dosen teologi yang mengajarkan bahwa “beranakcuculah dan bertambah banyaklah” di ayat ini bukanlah perintah, melainkan nubuat yang akan terjadi setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Ia beranggapan bahwa seandainya manusia tidak jatuh ke dalam dosa, mereka tidak akan memiliki keturunan. Untuk mendukung pendapatnya, ia membandingkan ketelanjangan manusia sebelum Kej 225 dan sesudah kejatuhan 37, 8, 10, 11. Sebelum kejatuhan ke dalam dosa manusia memang telanjang, tetapi mereka tidak merasa malu. Artinya, ketelanjangan mereka bersifat kudus, karena ditutupi oleh kemuliaan Allah. Argumentasi lain yang dikemukakan berasal dari Kejadian 316. Dalam teks ini dijelaskan bahwa melahirkan anak dengan penuh kesakitan merupakan hukuman dosa bagi Hawa. Selain itu, birahi wanita kepada suaminya juga merupakan akibat dari dosa. Hukuman ini tampaknya menyiratkan bahwa kemampuan berhubungan seksual dan memiliki keturunan adalah akibat dari dosa. Apakah pandangan di atas bisa diterima? Bagaimana kita seharusnya memahami frase “beranakcuculah dan bertambah banyaklah” di Kejadian 128? Apakah ini benar-benar sebuah perintah, nubuat, atau yang lainnya? Kejadian 128 Ayat ini sebenarnya memang bukan sebuah perintah, namun ayat ini juga bukan sebuah nubuat. Ayat ini lebih tepat dipahami sebagai berkat, karena ayat ini dimulai dengan kata Ibrani wayebarek, yang berarti “Ia [Allah] memberkati” band. Kej 122 “berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah...”. Berkat dalam bentuk keturunan yang banyak merupakan hal yang umum dalam kitab Kejadian. Allah berkali-kali berjanji kepada para patriakh bahwa mereka akan memiliki keturunan yang banyak, misalnya Nuh 91, Abraham 122; 155; 172, Ismael 1720, Yakub 283; 3511, Yusuf 4925. Sebaliknya, kemandulan pada jaman dahulu dikaitkan dengan hukuman Allah Kej 2018; Kel 2326; Ul 714; 2818, walaupun kemandulan itu sendiri tidak selalu sebagai hukuman Allah, misalnya kemandulan Sara 1130; 1717; 1811-12, Ribka 2521, Rakhel 2931. Dari data seperti ini sulit dipahami mengapa kemampuan beranakcucu di Kejadian 128 justru dikaitkan dengan hal yang negatif, yaitu kejatuhan manusia ke dalam dosa. Lebih jauh, Kejadian 218 mencatat bahwa Allah memandang kesendirian Adam sebagai sesuatu yang tidak baik. Ia selanjutnya menciptakan Hawa supaya mereka menjadi satu tubuh 224. Jelas, pemberian Hawa ini merupakan sesuatu yang baik band. 131. Lebih jauh, istilah “satu tubuh” dalam masa Perjanjian Baru dipahami sebagai rujukan pada perkawinan Mat 195; Mar 107-8; Ef 531 atau persetubuhan 1Kor 616. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal Allah memang merencanakan agar Adam dan Hawa bersatu secara seksual dan melahirkan keturunan. Kejadian 225 dan 37, 8, 10, 11 Apakah perubahan respon terhadap ketelanjangan mereka, dari tidak malu 225 menjadi malu 37, membuktikan bahwa dosalah yang membuat mereka tahu kalau mereka telanjang 37? Apakah ini menjadi petunjuk bahwa seandainya manusia tidak berdosa, mereka tidak akan mendapatkan keturunan, karena mereka seperti dua anak kecil yang telanjang tetapi tidak merasa malu? Sebelum membahas Kejadian 225 secara lebih mendalam, kita terlebih dahulu perlu mewaspadai kesalahan berlogika tentang ayat ini yang terlalu sempit dan subjektif. Apakah “tidak malu” di sini harus berarti tidak memiliki hasrat untuk melakukan hubungan seks seperti sepasang anak kecil? Bukankah sepasang suami-istri juga tidak saling malu ketika mereka telanjang, tetapi bukan berarti mereka tidak memiliki hasrat seksual? Untuk menjawab isu dalam bagian ini secara tuntas kita harus memahami arti kata “malu” bosh di 225. Dalam Pentateukh kata ini hanya muncul dua kali, yaitu di ayat ini dan Keluaran 321. Di Keluaran 321 kata ini berarti “tertunda”. Karena pemunculan bosh di Keluaran 321 tidak berkaitan dengan isu yang sedang kita bahas, kita perlu melihat pemunculan kata bosh di tempat lain. Di tempat lain, kata bosh seringkali menggambarkan keadaan yang hina dan rendah atau perasaan bersalah Ay 620; Yes 4217; Yer 143; 2222; Yeh 1622, 37, 39; 2329; Hos 23; Amos 216; Mik 18. Berdasarkan hal ini, bosh di 225 tidak boleh dipahami sebagai perasaan malu seperti yang biasa kita bayangkan, tetapi lebih kepada perasaan malu yang berhubungan dengan keadaan seseorang yang rendah, hina atau bersalah. Dengan kata lain, bosh di sini lebih mengarah pada keadaan dipermalukan, bukan perasaan malu atau sungkan. Makna di atas juga didukung oleh penggunaan kata “telanjang” di pasal 2 dan 3. Yang perlu kita ketahui adalah perbedaan kata Ibrani yang dipakai untuk kata “telanjang” di pasal 2 dan 3. Pasal 225 memakai kata arom, sedangkan pasal 3 menggunakan kata erom. Dua kata yang berarti telanjang ini merupakan kata yang sangat jarang muncul di Pentateukh. Kata arom dalam arti telanjang hanya muncul di 225, sedangkan erom hanya muncul di pasal 3 dan Ulangan 2848. Dalam Ulangan 2848 kata erom juga dihubungkan dengan hukuman yang akan diberikan kepada bangsa Israel apabila mereka tidak menaati TUHAN lihat ayat 47. Musa tentu saja memiliki alasan tertentu mengapa ia mengubah kata arom di 225 menjadi erom di 37, 8, 10, 11. Ia ingin membandingkan situasi manusia sebelum dan setelah kejatuhan. Akibat dosa bukan membuat manusia tahu bahwa mereka telanjang arom, tetapi bahwa mereka telanjang erom, dalam arti mereka berada di bawah hukuman Allah Ul 2848. Pendapat di atas sesuai dengan 37 “maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu bahwa mereka telanjang”. Apakah sebelumnya mereka tidak tahu kalau mereka telanjang? Bukankah 225 menyiratkan ide bahwa mereka sudah tahu ketelanjangan mereka, tetapi mereka tidak malu? Jadi, ketelanjangan di pasal 3 merupakan sesuatu yang baru, berbeda dengan ketelanjangan di pasal 2, sesuai dengan perbedaan kata Ibrani yang dipakai. Hal selanjutnya yang perlu didiskusikan adalah objek rasa malu di pasal 2 dan 3. Apakah manusia malu kepada sesamanya atau kepada Allah? Konteks pasal 2-3 dan Pentateukh secara keseluruhan tampaknya mendukung pandangan bahwa mereka malu kepada Allah. Artinya, mereka sadar kalau mereka telanjang di hadapan Allah berada di bawah hukuman Allah. Kejadian 3 menghubungkan ketelanjangan mereka dengan ketakutan terhadap Allah. Pasal 310 “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.” Dari sini kita bisa melihat bahwa tindakan manusia untuk menutupi tubuh mereka dengan daun ara dan bersembunyi merupakan satu kesatuan. Dari siapa mereka bersembunyi? Bukan dari sesamanya, tetapi dari Allah. Dengan demikian, tindakan menutupi dengan daun ara juga berhubungan dengan Allah. Hal itu semakin diperjelas dengan respon Allah selanjutnya di ayat 21. Ia mengganti penutup dari daun ara tersebut dengan pakaian dari kulit binatang. Dalam konteks Pentateukh secara keseluruhan, ide pengorbanan binatang untuk menutupi dosa ini selanjutnya menjadi semakin jelas dalam bentuk kurban bakaran penghapusan dosa. Dari hubungan ini kita bisa menarik konklusi bahwa pemberian pakaian dari kulit binatang menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah. Penjelasan lain yang mendukung perasaan malu di pasal 2 dan 3 ditujukan kepada Allah adalah hubungan antara ibadah kepada Allah dengan ketelanjangan. Keluaran 2022 melarang orang Israel menaiki tangga mezbah supaya aurat mereka tidak terlihat. Keluaran 2842-43 juga menjelaskan detil pakaian celana para imam supaya mereka tidak melanggar kekudusan Allah. Dari data ini terlihat bahwa ketelanjangan merupakan situasi yang menghalangi perjumpamaan dengan Allah. Sebagaimana Adam dan Hawa berusaha menutupi ketelanjangan dengan daun ara dan menyembunyikan diri dari Allah, demikian pula bangsa Israel selanjutnya harus menghadap Allah dengan pakaian yang memadai supaya ketelanjangan mereka tidak terlihat. Dari berbagai penjelasan di atas kita melihat bahwa rasa malu di Kejadian 2 maupun 3 merupakan perasaan malu manusia kepada Allah, bukan kepada sesamanya. Satu-satunya keberatan terhadap pendapat ini berasal dari tata bahasa Ibrani dari kata “tidak malu”. Berdasarkan kaidah bahasa Ibrani, stem Hitphael yang dipakai di sini biasanya menunjukkan tindakan yang resiprokal saling satu sama lain. Karena itu, “tidak malu” di 225 lebih baik diterjemahkan “tidak [saling] malu [terhadap sesama mereka]”. Bagaimanapun, stem Hitphael tidak selalu mengandung arti resiprokal. Hanya konteks yang menjadi pedoman apakah suatu kata kerja dengan stem Hitphael memiliki arti resiprokal atau tidak. Sesuai dengan yang sudah kita bahas, konteks Kejadian 2 dan 3 tampaknya lebih mendorong kita pada kesimpulan bahwa malu di pasal 2 dan 3 menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah, bukan antara manusia dengan sesamanya. Kejadian 316 Ayat ini menjelaskan salah satu hukuman dosa yang diderita Hawa, yaitu ia akan birahi kepada suami. Apakah ayat ini merupakan bukti bahwa dorongan seksual baru muncul setelah kejatuhan ke dalam dosa dengan demikian mendukung pandangan bahwa Kejadian 128 merupakan sebuah nubuat? Ternyata, penyelidikan yang cermat terhadap arti kata Ibrani di balik terjemahan “birahi” atau “desire” versi Inggris membawa kita pada pengertian yang sama sekali berbeda. Kata Ibrani yang dipakai di situ adalah teshuqa. Kata ini hanya muncul tiga kali dalam Perjanjian Lama, yaitu di Kejadian 316, 47 dan Kidung Agung 710. Karena pemakaian yang sangat jarang inilah, para penafsir berbeda pendapat tentang arti kata teshuqa di Kejadian 316. Hampir semua penerjemah kuno Alkitab, termasuk mereka yang menerjemahkan Septuaginta LXX pada abad ke-3 sampai ke-1 SM, menerjemahkan kata ini dengan “berpaling”. Philo, seorang penafsir Yahudi yang terkenal pada abad ke-1 M, juga memilih terjemahan ini. Selanjutnya, terjemahan ini juga diikuti oleh bapa-bapa gereja. Seandainya terjemahan ini diterima, maka hukuman Hawa adalah keberpalingan dari Allah kepada suaminya. Sebagai akibatnya, suaminya akan berkuasa atas dia. Sebagian sarjana modern menolak terjemahan di atas. Mereka menganggap para penerjemah kuno, terutama penerjemah Septuaginta, telah salah menangkap kata Ibrani dalam bagian ini. Kata teshuqa di sini mungkin dianggap sebagai teshuba, sehingga diterjemahkan “berpaling”. Kesalahan ini selanjutnya diikuti oleh generasi-generasi sesudah mereka. Mereka yang menolak arti “berpaling” memilih untuk memahami kata teshuqa di Kejadian 316 dalam terang Kejadian 47. Dalam Kejadian 47, teshuqa merujuk pada keinginan dosa untuk menguasai Kain LAITB “ia sangat menggoda engkau”. Semua Alkitab versi Inggris menerjemahkan dengan “its desire is for you” keinginannya adalah kepadamu”. Dari konteks pemakaian kata teshuqa di pasal 47 kita bisa menarik kesimpulan bahwa teshuqa di pasal 316 bukan merujuk pada keinginan secara seksual, melainkan keinginan wanita untuk menguasai pria. Dengan demikian, frase “engkau akan mengingini bukan “birahi terhadap” suamimu dan suamimu akan menguasai engkau” di Kejadian 316 menggambarkan perjuangan pria dan wanita untuk menguasai pasangannya masing-masing. Arti di atas lebih sesuai dengan konteks Kejadian 2 dan 3. Sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa, hubungan antara pria dan wanita adalah hubungan kesejajaran. Mereka dirancang untuk menjadi pasangan yang sepadan 218. Mereka juga memiliki kesatuan yang begitu intim 223-24. Setelah dosa menguasai hidup manusia, mereka tidak lagi memiliki kesatuan intim dalam semangat kesejajaran. Mereka telah menjadi egois dan ingin menguasai seorang terhadap yang lain. Dari semua pemaparan di atas kita melihat bahwa terjemahan apapun yang kita ambil, entah itu “berpaling” atau “mengingini [untuk menguasai]”, Kejadian 316 sama sekali tidak mengajarkan bahwa keinginan seksual baru muncul setelah kejatuhan ke dalam dosa. Dorongan seksual sudah ada sebelum kejatuhan ke dalam dosa, karena hal itu merupakan salah satu cara Allah untuk menggenapi rencana-Nya di Kejadian 228, yaitu supaya manusia memenuhi bumi dan memeliharanya. Lalu darimana ide tentang keinginan seksual bisa begitu rupa mendominasi pemikiran sebagian besar orang Kristen modern? Ide ini bermula dari Pagnino, seorang biarawan Katholik yang menerjemahkan Alkitab Perjanjian Lama pada abad ke-16 M. Pagnino yang sangat dipengaruhi oleh ajaran para rabi Yahudi kemungkinan besar telah memasukkan ajaran tentang “Sepuluh Kutuk atas Hawa” di Talmud ke dalam terjemahan Alkitab yang dia buat. Sejak saat itu, hampir semua Alkitab versi Inggris mengikuti terjemahan ini, kecuali versi Wycliffe dan Douay yang didasarkan pada versi Latin Vulgata. sermom Khotbah Kejadian 30:31-43, Minggu 10 Oktober 2010. Sermon 1 Oktober 2010. Introitus: Amsal 2:6; Bacaan: I Timotius 4: 13-16. Khotbah: Kejadian 30: 31-43. Thema: Bijaksana menmggunakan pengetahuan. (Pentar makeken pemeteh) Pendahuluan. Untuk menjelaskan nats khorbah perlu sekali kitab tahu watak dari dua orang tokoh kita yaitu Laban danKejadian1:27. Kejadian 1:27 TB. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Apakah Makna Paskah? Berbisnis Secara Supernatural. Memulai Hubungan dengan Yesus. Pencarian. Aliran Air yang menyegarkan jiwa wanita. Harta Milik..